Tuesday, April 19, 2011

Review Buku: "Islam Liberal 101"

Belum pernah terlintas dalam memori kolektif umat Islam nusantara tentang sebuah masa dimana mereka menyaksikan munculnya aneka penafsiran wahyu Ilahi yang sama sekali baru. Tidak hanya baru, tetapi tidak lazim dan aneh. Bukan hanya aneh, namun menyesatkan dan menghancurkan postulat-postulat logika, nihil adab keilmuan dan miskin moralitas manusia.


Sebuah tren populer yang mendapat dukungan politis dan finansial yang luar biasa dari sindikasi manusia global, bahkan institusi negara bangsa.

Tak pelak, fenomena ini menerbitkan keprihatinan bagi beberapa pihak. Bukan karena ianya adalah kontra yang musykil atau bahkan tidak terjawab. Namun karena gelombang itu begitu masif dan terorganisasi rapi sehingga rentan mendangkalkan akidah umat, bahkan meruntuhkan tiang-tiang syahadat.


Berpijak pada lecutan kepahitan inilah, buku “Islam Liberal 101” direka rupa. Sebuah sumbangsih akal yang mencoba meniti petunjuk wahyu Tuhan untuk memberikan kupasan tipis kulit luar dari sebuah fenomena perang abadi antara al-haq dan al-bathil, kebenaran dan kesesatan, di sebuah palagan bertajuk pemikiran. Sebuah pengantar singkat sebagai pemicu bagi akal-akal lurus untuk mengenali keadaan, mengeraskan kepalan tangan dan menjejakkan kaki di medan juang. Dimana demikianlah fungsi aksara “101” menurut ujaran Akmal Sjafril, maestro di balik kitab yang bermanfaat ini.


Untaian makna dibuka oleh kisah heroik dakwah Nabi Ibrahim `alaihissalam. Mengambil sumber dari mata air Qur`ani, dengan elok Bung Akmal membuka kuliahnya tentang pemikiran ini dengan sampel fakta sosok agung yang, tercatat dalam sejarah, melakukan pencarian Rabb-nya dengan kekuatan akal. Dimana logika yang benar mengantarkannya pada rahmat dan hidayah Ilahiyah, dan di ujung nanti, logika yang sama akan menghancurkan bangun kekeraskepalaan pengekor kesesatan serta kesombongan rapuh penguasa yang tertipu.


Ada yang aneh dengan kesombongan, apalagi jika ia direngkuh oleh makhluk pemilik predikat “dzaluman jahula”, zalim lagi bodoh. Selendang yang hanya pantas dipunyai oleh pemilik sifat Mahaperkasa dan Maha Berkehendak, sungguh tidak pantas jika coba dirampas makhluk-makhluk lemah, apalagi tanpa adab. Dipelopori oleh iblis laknatullah, selalu saja ada makhluk yang merasa berhak memakai mahkota kesombongan. Padahal tidak ada efek positif dari hal ini melainkan ketertutupan hati dari cahaya kebenaran dan keterpurukan diri dalam jurang kesesatan. Tidak cukup menyesatkan dirinya sendiri, pengklaim sifat kesombongan ini bahkan menipu dan menyesatkan orang-orang yang mengikutinya. Puncaknya, jika dominasi kesesatan ini akhirnya runtuh di depan bukti-bukti yang nyata dari langit, yang kemudian dibenarkan oleh akal-akal yang tercerahkan, maka segala daya upaya dilakukan untuk menghalangi manusia dari jalan Tuhan. Fir`aun adalah contoh sempurna kesombongan yang diabadikan oleh kalam-kalam wahyu.


Namun, Fir`aun bukanlah realita purba yang membeku dan punah ditinggal roda zaman. Dia adalah mentor terbaik yang jejak langkahnya dinapaktilasi oleh para pengibar panji kesesatan. Bahkan pemilik nurani yang bersihpun tidak akan berhenti untuk takjub dan heran, betapa kesesatan selalu saja menemukan seribu satu macam jalan untuk mengeksiskan dirinya. Walaupun dengan cara yang tidak terhormat dan hina. Contoh-contohnya secara lugas dan gamblang akan dibahas nanti oleh Bung Akmal di pertiga akhir episode bukunya.


Menoleh ke belakang, memutar kembali bandul sejarah adalah salah satu upaya memahami realitas kekinian. Dengan memahami konteks ruang, waktu dan budaya; seseorang diharapkan bisa memperoleh gambaran lebih luas tentang sebuah fenomena. Seperti halnya manusia, produk pemikiran akalpun memiliki asal-usul dan latar belakangnya yang khas. Dalam hal ini, sekularisme, ulas Bung Akmal, memiliki akar sejarah yang berasal dari Eropa pada masa Abad Kegelapan (Dark Ages). Absolutnya kekuasaan Gereja yang diperparah dengan perilaku koruptif, kolutif dan manipulatif para wakil Tuhan melahirkan antitesis yang tidak kalah ekstrimnya, berupa penyingkiran nilai-nilai Ilahiyah dari setiap pori-pori kebermasyarakatan.


Mimpi buruk bangsa Barat ini termanifestasi dalam stereotipe yang negatif tentang Tuhan, agama dan nilai-nilai kebenaran. Tidak sulit untuk menjejak hal ini dalam pemikiran-pemikiran yang ‘memasung’ Tuhan dalam bilik pribadi individual di pojok paling pinggir kehidupan. Atau penolakan atas berperannya nilai-nilai kebenaran agama dalam pengelolaan kehidupan komunal kenegaraan. Bahkan kata “agama” sendiripun memiliki kesan bodoh, kaku, kuno, terbelakang dan pelarian bagi manusia-manusia yang kalah dalam persaingan dunia.


Ketika Bung Akmal menguraikan tentang “deconsecration of values” sebagai salah satu pilar sekularisasi, logika saya sontak berteriak, “Ini hanya sepelemparan batu saja dari atheisme.” Jika tidak ada lagi dzat yang absolut, maka inilah wujud dari igauan Nietzsche: Tuhan telah mati! Bahkan menurut saya, inilah intisari dari sekularisasi. Absennya sesuatu yang absolut dalam agama, berbuah pluralisme; dalam nilai-nilai kemanusiaan, beranak liberalisme bercucu relativisme. Dan prediksi saya, ujung dari semuanya itu adalah anarkisme.


Ada banyak hal yang bisa dipanen dari buku sederhana namun sarat pengetahuan ini. Bagi pembaca awam seperti saya, buku ini memberikan pengantar, arahan dan pemeraan atas kondisi kontemporer umat akhir zaman. Pembaca maqam lanjutpun, saya kira, menuai hikmah yang tidak sedikit. Ada logika-logika sederhana yang membanting telak klaim-klaim palsu sesat. Ada ilustrasi-ilustrasi ringan yang menggambar permasalahan dengan cermat. Ada juga informasi-informasi dari referensi langka yang raib dari jangkauan publik.


A very much recommended literature…


Dengan begitu banyak manfaat, buku ini hampir tidak bercela. Akan tetapi hanya Allah jualah pemilik segala kesempurnaan. Bukan sebuah cacat yang meruntuhkan bangunan indah, namun ada perbedaan selera dalam memahami definisi keindahan itu sendiri.


Bagi saya, ada semacam kegagapan ketika di beranda buku, saya disambut oleh subbab awal yang berkisah mengenai peperangan abadi. Apa yang saya bayangkan ketika menatap judul buku dan membaca kata pengantar sutradaranya, sedikit meleset dari perkiraan. Dalam selera saya, pembahasan mengenai definisi hendaknya lebih dimajukan sehingga ketika Bung Akmal menguraikan tesisnya tentang peperangan abadi, pembacanya sudah mendapatkan cita rasa dan ketersambungan ide. Namun sekali lagi, sebenarnya ini bukanlah sebuah hal yang signifikan. Hanya perbedaan selera, itu saja. Dan di atas itu semua, komentator tentu selalu lebih hebat daripada pemain yang bersimpah peluh di lapangan. Apalah arti sebuah review sederhana ini dibanding buah tangan Bung Akmal Sjafril bagi pencerahan umat.


Akhirnya, saya hanya bisa turut mengaminkan doa penulis di awal cerita agar buku ringkas ini, kelak, bisa menjadi pemberat timbangan amal kebaikan siapapun yang terlibat di dalamnya. Dan semoga saya yang menulis review ala kadarnya ini ikut terciprat pahalanya juga.


Amiiin.


Oiya, ada yang ketinggalan. Pada halaman 207, tertulis,


Beginilah orang-orang munafik. Mereka bahkan berani datang langsung ke hadapan Allah dan mengaku beriman kepada beliau. Akan tetapi, Allah memperingatkan Rasul-Nya akan kebohongan mereka.


Mungkin saya saja yang salah. Namun, apakah kata “Allah” pada kalimat kedua di atas tidak sebaiknya diganti “Rasulullah”.


Bung Akmal?


PS: Akibat membeli buku ini di Malami Bookstore, saya tidak perlu repot mencegat KA262 (Pakuan Ekspres keberangkatan pukul 19:25) di Stasiun Sudirman untuk meminta tanda tangan Bung Akmal. Hehe :p

3 comments:

Unknown said...

assalamu'alaikum.

saya sempat mereview tulisan kang Sjafril di http://wp.me/p3VNN8-b0
mungkin bisa sama-sama belajar soal isu Islib. jika berkenan.
terima kasih.

Unknown said...

http://wp.me/p3VNN8-b0 kalau berkenan, sila baca review singkat tulisan kang akmal di link td. mungkin jadi pengkayaan kajian.
terima kasih.

Kendy A. Sumbogo said...

Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Terima kasih sudah berkenan mengunjungi tulisan saya yang sederhana ini.