Monday, March 07, 2011

Catatan Harian 01 Maret 2011

Maraknya pemberitaan mengenai tindak kekerasan massa terkait agama tentu saja membuat banyak pihak merasa prihatin. Ada banyak premis diformulasikan, ada banyak analisis dilakukan dan ada banyak tesis diwacanakan. Namun sayangnya, selalu saja eksklusivitas agama menjadi kambing hitam.


Walaupun ditegakkan di atas logika rapuh, fenomena kontemporer berupa kriminalisasi esklusivitas agama --dan pada gilirannya menjajakan pluralisme sebagai antitesisnya-- lekat dengan semua label kepopuleran: modern, cerdas, ilmiah, progresif ……….. dan seksi.





Membaca rubrik “Opini” di harian Media Indonesia (MI) edisi hari Senin (28/02) membuat saya ingin memberikan sedikit catatan. Dalam tulisannya yang berjudul “Agenda Pendidikan Agama Kita”, [1] Ahmad Baedowi (AB) berusaha merangkai hubungan kausalitas antara fakta maraknya peristiwa kekerasan massa terkait agama dengan tingkat toleransi para guru agama dan siswa sekolah menengah pertama dan atas di Jabodetabek.


Logika yang ingin dibangun AB melalui tulisannya itu menuduh para guru agama yang “intoleran” ditambah dengan materi ajar pendidikan agama Islam yang masih lekat dengan eksklusivitas agama menjadikan para siswa teralienasi dari fakta pluralitas masyarakat. Dimana pada gilirannya memicu tindak kekerasan pada pemeluk agama lain yang ujung-ujungnya menumbuhsuburkan semua perilaku amoral di kalangan remaja.


Tulisan AB diawali dengan usaha membangun jembatan logika antara fakta maraknya tindak kekerasan dengan sikap beragama yang dianggap intoleran.


“LAPORAN Media Indonesia (27/2/2011) tentang kekerasan dan sikap tidak toleran di lingkungan guru agama dan siswa pada sekolah menengah pertama dan atas di Jabodetabek cukup memprihatinkan kita. Jangan-jangan ini menandakan fenomena kegagalan pendidikan agama di ligkungan sekolah yang juga ditandai dengan maraknya kekerasan, munculnya praktik aborsi akibat pergaulan bebas, penyalahgunaan narkoba, hingga konsumsi tayangan pornografi melalui telepon seluler.”


Penggunaan kata “jangan-jangan” di atas menunjukkan bahwa AB sendiri masih belum sepenuhnya yakin dengan postulat sebab-akibat yang sedang dia bangun. Namun anehnya, secara inkonsisten AB merasa yakin dengan kesahihan bangunan logikanya, bahkan cenderung memaksakannya kepada publik. Hal ini tersurat pada penggunaan kata “harus” pada paragraf kedua tepat di bawahnya.


“Kasus kekerasan di sekolah yang melibatkan guru, orang tua, dan siswa harus dibaca sebagai gejala otoritarianisme agama yang mulai menguat di sekolah.”


Logika AB --yang dengan susah payah mengait-ngaitkan gejala maraknya tindak kekerasan dengan kondisi keberagamaan masyarakat-- sebenarnya sangat lemah, dan dipaksakan. Apalagi ketika intoleransi itu dianggap mewujud dari sikap eksklusivitas agama.


Dalam Islam, agama itu bukan sesuatu yang dipaksakan. Kabar wahyu memang harus disampaikan dalam wujud amanat dakwah, namun keyakinan seseorang bukanlah domain kerja makhluk. Ia adalah hak prerogatif al-Khalik, berupa hidayah.


“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [2] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-Baqarah [2] : 256)


“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (Q.S. al-Qashash [28] : 56)


Menuduh eksklusivitas agama --dalam hal ini, Islam-- adalah kisah lama yang selalu diputar-putar secara memuakkan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya argumentasi logis serta minim landasan historis. Fenomena maraknya tindak kekerasan massa adalah fenomena kontemporer yang terekam dalam beberapa tahun terakhir saja, apapun dalih dan latar belakang pencetusnya. Sedangkan fakta bahwa Muslim adalah mayoritas di Nusantara, sudah ada sejak Indonesia diproklamasikan. Bahkan jauh sebelum itu. Lengkap dengan pemahaman pemeluknya bahwa Islam adalah agama yang eksklusif, bahwa tidak ada jalan keselamatan lain di luarnya.


Potret buruk tentang eksklusivitas agama sebenarnya berasal dari luar Islam. Itu adalah memori kolektif masyarakat Eropa dari masa Abad Pertengahan, dikenal juga sebagai Dark Age. Sebuah masa dimana golongan pendeta dalam naungan Gereja memegang kekuasaan absolut yang otoriter, lengkap dengan lembaga penghukum bernama Inkuisisi. Dan sekarang, memori buruk ini hendak dijejalkan kepada masyarakat Muslim yang relatif steril dari hal-hal semacam ini.


Lepas dari eksklusivitas Islam yang toleran, masyarakat non-Islam-pun juga tidak sepi dari fakta-fakta intoleransi. Pelarangan menara masjid di Swiss dan penolakan warga New York atas pembangunan masjid di Ground Zero; adalah beberapa contoh di antaranya. Dan nyatanya, hal itu juga tidak diikuti oleh kekerasan massa.


Dari titik ini, sudah jelas terlihat bahwa logika AB sudah tidak layak untuk diwacanakan. Karena memang bukan itu kunci permasalahan. Menurut saya, supremasi hukum adalah penyelesaiannya. Karena hukum besi keadilan bisa menyatukan gerombolan massa barbar menjadi masyarakat negara yang teratur dan beradab. Jika kebutuhan akan keadilan ini tidak terpuaskan, maka massa yang terzalimi tidak lagi melegitimasi institusi negara dan aturan main bermasyarakat. Kebutuhan inilah yang gagal dipenuhi oleh sebagian pihak di republik kepulauan ini.


Sebenarnya, saya berada di satu pihak dengan AB ketika Beliau menyampaikan tesisnya tentang perubahan pada agenda pendidikan agama. Terlalu banyak beban harapan yang ditimpakan oleh masyarakat kepada pendidikan yang jatah jam pelajarannyapun masih minim. Belum lagi ditambah oleh orientasi pelajaran agama Islam yang masih terlalu kaku dan tidak tepat sasaran. 


Namun, menjadikannya kambing hitam dengan sebuah postulat kausalitas yang invalid secara logika, juga bukan sesuatu hal yang bijaksana. Apalagi disisipi dengan pesan sponsor paham pluralisme agama. Padahal, tidak ada hasilnya mengimani pluralisme agama, melainkan dua pilihan bagi kita: menjadi personal berkepribadian ganda atau setengah hati mengimani wahyu Tuhan.


Karena pluralisme agama dan Tuhan tidak pernah satu jalan.


Referensi


[1] Ahmad Baedowi, “Agenda Pendidikan Agama Kita”, Media Indonesia, 28 Februari 2011, hal. 11.


[2] Thaghut, ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah.

No comments: