Wednesday, April 17, 2013

Ringkasan: Identitas dan Problem Politik Islam

Politik Islam, sebagaimana ilmu-ilmu lainnya, mengambil sumber dan rujukannya dari al-Qur'an dan Sunnah. Meskipun tidak secara eksplisit tersurat adanya perintah dan kewajiban berpolitik, namun konsep Islam tentang pemimpin, syura', hukum & keadilan serta moral sosial mewajibkan adanya tata cara yang memungkinkan terlaksanakannya konsep-konsep tersebut, yg dikenal sebagai siyaasah. Dalam `ushul fiqh, dikenal kaidah "maa laa yatimm al-waajib illaa bihii fahuwa waajib", sarana untuk menjalankan yang wajib hukumnya adalah wajib juga.

Berikut ini adalah ringkasan dari artikel yang ditulis oleh Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi di majalah Islamia.



Pada zaman Nabi dan tiga generasi terbaik berikutnya, bangunan awal siyaasah ditujukan untuk menerapkan hukum-hukum syari'ah, sehingga memiliki nilai moral yang tinggi karena didasari oleh nilai-nilai agama. Bahkan ketika terjadi konflik antar-Mukmin, ini semua masih dalam bingkai penerapan syariat Islam.

Dari contoh yang ada pada kurun terbaik umat Islam inilah, para `ulama membangun konsep-konsep siyaasah syar`iyyah.

Al-Farabi mengemukakan konsep masyarakat sebagai kesatuan anggota tubuh yang bahu-membahu, yang dijabarkannya dari konsep ukhuwwah Islamiyyah yang terpotret dari negara Madinah. Sementara al-Ghazzali mendudukkan negara, di satu sisi,  pada posisi pelindung agama dan peradaban. Sementara agama, di sisi lain, menjadi dasar bagi masyarakat di suatu negara. Berbeda dengan konsep Barat yang sekuler, negara dan agama dikonsepkan bagai dua sisi mata uang yang berkelindan tak terpisahkan. Oleh karenanya, ketrampilan berpolitik dan moralitas menjadi syarat penting kepemimpinan dalam Islam.

Namun politik di negeri Islam dewasa ini jauh dari apa yang telah dibangun oleh para 'ulama klasik, baik dalam tataran konsep maupun praktis. Hal ini terjadi karena hilangnya dinamisasi ilmu dalam umat Islam serta hegemoni pemikiran Barat yang begitu agresif mengikis wajah peradaban Islam.

Pada mulanya, umat Islam menganggap bahwa semua hal dalam agama adalah politik. Namun ketika serbuan deras pemikiran Barat sekuler menggantikan konsep-konsep Islam, umat mengalami kebingungan konseptual, konflik internal dan krisis identitas.

Konflik internal muncul karena adanya perbedaan sikap dalam berinteraksi dengan konsep-konsep Barat sekuler. Sementara krisis identitas lahir dari jauhnya umat Islam dari konsep-konsep yang lahir dari agamanya sendiri. Akhirnya di kalangan cendekiawan muncul sikap mengasosiasikan Islam dengan konsep-konsep Barat sekuler. Bahkan mengagungkan konsep asing itu seraya mencampakkan warisan agung 'ulama Islam. Berikutnya, yang muncul adalah respon emosional atau apologetik yg semakin mengikis habis peran Islam dalam membangun peradaban.

Kini, konsep demokrasi Barat sekuler begitu luas dibahas dan diterapkan di seluruh dunia. Padahal jauh-jauh hari, Plato telah menunjukkan lemahnya konsep demokrasi pada seleksi kepemimpinan ('imaamah). Dalam sistem demokrasi, seorang pemimpin terpilih karena penampilan dan kekayaan, bukan karena wisdom dan ide. Iqbal mengkritik demokrasi karena kuantitas suara yang tidak bisa menghadirkan kualitas kepemimpinan. Di lain pihak, tiadanya standar khusus menyebabkan tafsiran atas demokrasi jadi begitu beragam. Sementara itu, demokrasi yang lahir dari rahim sekularisme menihilkan aspek moral dalam politik. Sehingga pada akhirnya, demokrasi menjadi alat pemuas syahwat bagi pemegang kekuasaan & kroni-kroninya.

Oleh karena itu, diperlukan upaya dewesternisasi dan desekularisasi konsep demokrasi agar sesuai dengan worldview Islam. Namun, upaya ini tidak mudah karena membutuhkan pemahaman atas konsep-konsep Islam serta teori-teori politik modern, sekaligus. Jika konsep politik Islam ini telah matang, bukan berarti pekerjaan telah selesai. Diperlukan upaya sosialisasi yang intens agar umat tidak merasa asing, bahkan memusuhi nilai-nilai yang lahir dari agamanya sendiri.

Referensi:
Majalah ISLAMIA Vol. V No. 2 Tahun 2009

No comments: