Tuesday, June 17, 2014

Catatan Harian 18 Juni 2014 (Pencitraan Masif, Untuk Apa?)

Masih tersisa sekitar tiga minggu lagi sebelum hari pemungutan suara. Dan masih tersisa tiga sesi debat antar Capres dan Cawapres yang akan meramaikan perbincangan masyarakat di ruang publik. Namun bagi saya, pilihan Capres untuk periode ini sudah final, bahkan jauh  sebelum koalisi partai politik digagas dan pasangan Capres-Cawapres diwacanakan. Bagi saya, Pilpres kali ini lebih bersifat “mencegah pemimpin yang buruk” daripada “memilih pemimpin yang baik”.

Dar’ul mafaasid muqaddamun `alal jalbil mashaalih. Begitu kata kaidah ushul fiqh. Konon.‎[1]


Saya tidak bisa mengingat secara persis sejak kapan Jokowi mulai terekspos ke publik dan kisah-kisahnya mulai dijajakan di media massa. Namun, seperti banyak orang lainnya, saya termasuk penikmat kisah-kisah sukses orang-orang yang bekerja keras membuat perubahan. Sebagaimana kisah-kisah optimis Dahlan Iskan dalam membenahi PLN, sayapun menikmati kisah sukses Jokowi memimpin Solo. Tapi ya hanya sebatas itu saja. Menikmati. Tidak lebih.

Ketika gelaran Pilkada DKI tahun 2012 telah berakhir dan Jokowi resmi menjadi Gubernur DKI, sedikit demi sedikit saya mulai merasakan ada yang tidak lazim pada kelakuan pers kita. Saya melihat antusiasme yang berlebihan pada media massa dalam menyajikan kisah tentang Jokowi. Meskipun saya tidak begitu peduli dengan gosip-gosip yang beredar di dunia Twitter, namun logika saya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres di balik itu semua.

Puncaknya adalah ketika Kompas versi daring memuat kisah tentang Jokowi yang kebelet pipis.‎[2] Bagi saya, ini adalah bukti bahwa ada sebagian pihak yang berusaha keras memoles citra Jokowi dengan menghalalkan segala macam cara. Mereka bahkan mampu membuat media sekaliber Kompas untuk membuat berita sampah!

Sekadar perbandingan sederhana. Dengan asumsi bahwa Jokowi benar-benar telah berhasil mengukir segudang prestasi, baik di Solo maupun DKI Jakarta; maka kenapa perlakuan yang sama tidak didapatkan oleh Walikota Surabaya, Bu Risma? Jika rekam jejak dan prestasi kerja Jokowi begitu gemilang, kenapa sebagian orang harus memaksa nama Jokowi untuk terus berada dalam memori kolektif publik?

Jawaban dari pertanyaan tersebut hanya ada dua. “Sesuatu” yang sedang dicitrakan dengan gencar itu sebenarnya biasa-biasa saja, namun dirias dengan bedak dan gincu yang tebal. Maka ramailah ruang publik dengan informasi remeh-temeh. Jokowi keringatan.‎[3]‎[4] Jokowi makan pecel nasi seperempat.‎[5]

Kemungkinan kedua, shareholder media sedang berpolitik. Maka pers, sebagai salah satu pilar demokrasi, yang diharapkan akan menyuarakan aspirasi-aspirasi korektif kepada pemegang kuasa eksekutif, legislatif maupun yudikatif; terdegradasi menjadi mesin propaganda yang melayani penguasa.

Jika pada rezim yang lampau, penguasanya tampak jelas, terlihat nyata, berada di puncak hierarki kekuasaan. Maka pada zaman sekarang, penguasanya adalah para pemilik modal dan kapital, bekerja dalam senyap serta jauh dari sorotan kamera.

Pada dua jawaban itu, saya melihat ada keburukan yang luar biasa besar. Maka dengan mencegah Jokowi naik tahta, saya berikhtiar untuk menjauhkan negara ini dari pemimpin berkualitas biasa-biasa saja atau dari segolongan orang-orang busuk yang akan mengendalikan pemerintahan dari balik layar.

Mencegah keburukan harus lebih diprioritaskan daripada meraih kebaikan, sebagaimana kaidah ushul fiqh yang dikutip di atas.

(Bersambung…)

[1] Tenang. Ini hasil googling. Saya bukan ahli fiqih kalee…
[2] “Terjebak Macet di Cilincing, Jokowi Kebelet Pipis”. Kompas. http://megapolitan.kompas.com/read/2014/02/11/1401590/Terjebak.Macet.di.Cilincing.Jokowi.Kebelet.Pipis . 11 Februari 2014.
[3] “Jokowi Berkeringat Bagi-bagi Seragam SD Bagi Korban Banjir”. DetikNews. http://news.detik.com/read/2013/01/27/131448/2153246/10/jokowi-berkeringat-bagi-bagi-seragam-sd-bagi-korban-banjir . 27 Januari 2013.
[4] “Jokowi berkeringat jadi pembaca berita”. AntaraNews. http://www.antaranews.com/berita/375772/jokowi-berkeringat-jadi-pembaca-berita . 20 Mei 2013.
[5] “Jokowi ke Rumah Bupati Ngawi Sarapan Pecel, Minta Nasi Seperempat”. DetikNews. http://news.detik.com/pemilu2014/read/2014/03/31/104008/2541189/1562/jokowi-ke-rumah-bupati-ngawi-sarapan-pecel-minta-nasi-seperempat . 31 Maret 2014.

No comments: