Monday, February 15, 2010

Belajar Mengikat Makna: Catatan Harian 15 Jan 10

Tidak ada yang spesial dari catatan saya kali ini. Hanya sebuah proses belajar untuk meng-upgrade dan meningkatkan potensi diri. By the way, saat ini saya sedang menikmati sebuah buku berjudul "Mengikat Makna Update", buah tangan Pak Hernowo. Menurut informasi dari buku tersebut, Pak Hernowo ini mencatatkan rekor 24 buku dalam 4 tahun. Dengan sedikit ilmu penerawangan a la Statistika, rata-rata 1 buku Beliau tulis dalam 2 bulan. Wow!! Oleh karenanya, dengan semangat untuk menjadi Kendy versi 2.0, saya coba tuangkan apa saja yang terlintas di otak kiri, kanan, depan, belakang, atas dan bawah saya dalam bentuk tulisan. Semoga bisa istiqamah!!

...

Arloji sudah bergerak menuju jam 19.00 ketika saya tiba di Stasiun Dukuh Atas. Hari ini saya pulang malam karena mendapat giliran untuk melakukan weekly maintenance di kantor. Sebenarnya tugas-tugas sudah selesai sebelum Maghrib, dan saya masih bisa mengejar KRL Bojong Gede Ekspres (Bojes) dengan jadwal keberangkatan jam 18.42. Tapi mengingat sejarah kelam si Bojes yang selalu mengalami keterlambatan dan pembatalan perjalanan, saya akhirnya menjatuhkan pilihan pada Pakuan Ekspres jam 19.25.
Saat itu saya pulang bersama teman sekantor, sebut saja Beni, yang berdomisili di Bogor. Ketika kami berjalan menuju eskalator hendak berpindah dari Peron Jalur 1 menuju ke Peron Jalur 2, kami melihat salah seorang pedagang kaki lima kenalan Beni, sebut saja Kang Kasep. Akibat renovasi Stasiun Dukuh Atas, kami sudah beberapa pekan tidak melihat Kang Kasep karena stasiun harus disterilkan dari PKL yang biasa berdagang di kawasan tersebut. Saya senggol tangan Beni sambil menunjuk ke sosok Kang Kasep yang duduk berjongkok di pintu masuk stasiun. Agaknya Beni juga menyadari keberadaan kenalannya tersebut.

Setelah saling bertegur sapa dan menanyakan kabar masing-masing, kami memutuskan untuk singgah sebentar disitu. Beni dan Kang Kasep kemudian larut dalam obrolan yang diselingi dengan kepulan asap rokok, sementara saya berperan menjadi pendengar setia dari obrolan yang disiarkan dalam bahasa planet Sunda, yang tidak semuanya saya mengerti. Dan singkat cerita, akhirnya Beni berpamitan kepada Kang Kasep dan mengajak saya untuk duduk sejenak di luar stasiun.

Ternyata selama beberapa minggu tidak terlihat di Stasiun Dukuh Atas, Kang Kasep memilih untuk pulang kampung dalam keadaan... menganggur. Kedatangannya ke Stasiun Dukuh Atas hari itu karena dia mendapat kabar dari temannya sesama PKL bahwa akan ada peresmian stasiun yang disertai dengan penjelasan akan nasib para PKL yang sebelumnya pernah berdagang di situ. Tentu saja harapan Kang Kasep bertepuk sebelah tangan melihat kondisi Stasiun Dukuh Atas yang terlihat normal seperti hari-hari biasanya. Tidak ada spanduk meriah, tidak ada umbul-umbul megah, tidak ada karpet merah yang mewah. Dan tentu saja tidak ada pejabat yang meresmikan apapun disana.

Saya tidak tahu apa saja yang diobrolkan oleh Beni dan Kang Kasep, namun pembicaraan yang diselingi oleh Bahasa Indon itu, saya tahu bahwa Kang Kasep berusaha mempromosikan keahliannya sebagai tukang batu. Sembari menanti kabar baik dibukanya kembali tempat usahanya di Stasiun Dukuh Atas. Tentu saja saya miris mendengarnya. Ditambah dengan kabar bahwa istri Kang Kasep juga sedang mengandung seorang jabang bayi buah cinta mereka berdua. Tidak ada yang memerihkan hati saya waktu itu selain memikirkan betapa kalutnya pikiran pasangan muda itu menanti jabang bayi amanah dari Yang Maha Pengasih tanpa ada kepastian penghasilan sebagai pengepul asap dapur.

Saya hanya membisu menatap sosok calon ayah yang duduk berjongkok diam itu.

Tidak ada yang sanggup saya berikan untuk sekadar meringankan bebannya, melainkan hanya selarik empati dan sekilas waktu yang saya habiskan untuk ikut sedikit memikirkan nasibnya.

Namun akal ini juga buntu..

Saya membayangkan diri saya sendiri, dan berpikir betapa Allah telah memudahkan hidup saya, memuluskan perjalanan nasib saya dengan begitu banyak kemudahan. Namun bagi orang-orang seperti Kang Kasep, hidup adalah perjuangan dalam suasana penuh keprihatinan, kegagalan, dan kekecewaan. Saya sungguh yakin bahwa Allah Maha Adil, namun di hadapan kesempurnaan-Nya, saya berteriak mengutuki ketidakberdayaan saya. Betapa tidak sedikitpun tangan ini tergerak untuk cekatan membantu, menolong, memberdayakan orang-orang semacam Kang Kasep ini. Betapa diri yang terbelenggu oleh  perasaan “masih kurang cukup materi untuk memberi” terasa berat untuk sekadar berbagi semampunya.

Saya hanya ber-istighfar memohon perkenan Dzat Yang Maha Perkasa untuk sekedar merendam diri dalam samudera ampunan-Nya.

Dan, saya jadi melankolis malam itu...

No comments: