Friday, January 22, 2010

Belajar Mengikat Makna: Catatan Harian 18 Jan 10

Tidak ada yang spesial dari catatan saya kali ini. Hanya sebuah proses belajar untuk meng-upgrade dan meningkatkan potensi diri. By the way, saat ini saya sedang menikmati sebuah buku berjudul "Mengikat Makna Update", buah tangan Pak Hernowo. Menurut informasi dari buku tersebut, Pak Hernowo ini mencatatkan rekor 24 buku dalam 4 tahun. Dengan sedikit ilmu penerawangan a la Statistika, rata-rata 1 buku Beliau tulis dalam 2 bulan. Wow!! Oleh karenanya, dengan semangat untuk menjadi Kendy versi 2.0, saya coba tuangkan apa saja yang terlintas di otak kiri, kanan, depan, belakang, atas dan bawah saya dalam bentuk tulisan. Semoga bisa istiqamah!!

...

Karena ada perubahan penugasan kantor, hari ini saya mencoba jadwal keberangkatan baru dengan KRL. Biasanya, saya naik KRL Depok Ekspres dari ujung ke ujung, Depok Lama ke Dukuh Atas; sekarang saya mencoba destinasi baru: Tanjung Barat.
Tidak ada pilihan lain kecuali KRL Ekonomi, baik AC maupun non-AC, karena tidak ada KRL ekspres yang melayani rute Depok Lama – Tanjung Barat. Jadi meskipun jaraknya lebih dekat dengan rumah saya dibandingkan kantor yang berada di bilangan Sidirman, agak sulit bagi saya untuk mengatakan apakah lokasi kerja yang baru ini lebih mudah diakses atau tidak. Semua moda transportasi menawarkan benefit yang relatif sama, baik transportasi publik (KRL dan non-KRL) maupun privat (motor).

Pagi itu, dengan niat suci untuk datang tepat waktu di kantor klien, saya sudah berada di Stasiun Depok Lama pukul 06.20. Dibandingkan dengan rutinitas tiap hari yang sering ngos-ngosan ketika mengejar KRL Ekspres jam 07.46, ini sudah luar biasa bagi saya. Saya sudah agak pesimis karena sebenarnya, kereta yang saya incar adalah Ekonomi AC dengan jadwal 06.15. Untungnya (atau celakanya ?), KRL telat seperti biasa. Dia datang ketika jarum jam menunjukkan pukul 06.35. Tapi..

Announcer stasiun dengan jelas mengumumkan bahwa yang datang dari arah Selatan adalah KRL Ekonomi AC. Tapi yang saya lihat adalah KRL dengan manusia yang sudah bergelantungan di pintu-pintu samping bahkan naik hingga ke lantai 2.

What the...

Ah, masih ada yang jadwal 06.43, pikir saya.

Ternyata...

Sama saja. Dua-duanya sudah penuh sejak dari Selatan. Singkat kata, akhirnya saya naik KRL Ekonomi AC yang berangkat dari Depok Lama pukul 07.25. Dan setelah menikmati perjalanan selama 30 menit seperti sarden dalam kaleng –karena saking penuhnya kereta-, tiba juga saya di Stasiun Tanjung Barat. Beruntung hari ini saya hanya melakukan transfer pekerjaan dengan rekan sekantor sehingga keterlambatan saya tidak begitu bermasalah.

Sorenya, saya berniat untuk naik KRL Ekonomi lagi (tidak ada pilihan lain..) dari Stasiun Tanjung Barat. Dan ketika KRL tiba pada pukul 17.25, saya sudah pesimis. Lantai 2 sudah penuh. Lantai 1? Jangan tanya. Tapi saya ikuti saja rangkaian hingga berhenti sempurna. Gerombolan manusia yang bergantungan di pintu mulai terkuak, beberapa orang berjuang menerobos keluar, dan yang di luar berjuang menerobos masuk. Saya -yang belum pernah sekalipun berjuang untuk sekadar menapakkan kaki di lantai KRL- memilih untuk mundur. It’s not my turn yet. Saya akan coba peruntungan saya di KRL berikutnya.

Arloji saya sudah menunjukkan pukul 17.55 ketika KRL Ekonomi berikutnya tiba di Tanjung Barat. Same condition, pikir saya. Tapi saya sudah bergerak mencari posisi dimana saingan untuk naik KRL lebih sedikit. Sama seperti sebelumnya. Beberapa orang menerobos keluar, dan yang di luar bergegas menerjang masuk. Alhamdulillah, kedua kaki saya sudah menapak di lantai KRL, dan dua tangan saya sudah mendapat pegangan yang mantap di bagian atas pintu.

Pintu?

Ya, saya sekarang berperan sebagai pagar hidup bagi manusia yang ada di dalam gerbong. Tanpa peran pengganti, dengan tas punggung dengan beban 6 kiloan tergantung di salah satu lengan, saya menjalani adegan yang telah digariskan oleh Sang Sutradara. Angin sepoi-sepoi dan cuaca sejuk yang dihiasi awan mendung di cakrawala ditingkahi oleh ranting pohon dan dedaunan yang menerpa wajah saya. Ini bukan perjalanan wisata nostalgia dengan kereta tua. Saya bersama puluhan orang lainnya sedang bertaruh nyawa di pintu KRL Ekonomi.

Kereta baru saja berjalan beberapa saat, tangan kanan saya sudah mulai mati rasa. Desakan dari arah dalam gerbong membuat semua urat di kedua tangan saya menegang sempurna. Tidak ada jeda. Jika saya memutuskan beristirahat barang sejenak, tidak hanya rerumputan di bawah sana yang akan menerima saya dengan senang hati. Bebatuan pengganjal rel keretapun akan mencabik-cabik tubuh saya dengan riang gembira.

Duh, saya teringat wajah tiga bidadari saya di rumah...

Alhamdulillah, Stasiun Lenteng Agung sudah tampak di mata. Cukup sudah. Ini bukan perjalanan untuk memacu adrenalin semata. Saya turun kereta dengan lunglai. Perjalanan beberapa menit ini sudah cukup menguras emosi dan fisik saya. Sayup-sayup terdengar suara shalawat dari Musholla stasiun. Sudah mau masuk Maghrib, rupanya. Saya termenung agak lama di teras Musholla memikirkan apa yang baru saja saya alami. Ah, lebih baik saya shalat dulu biar agak tenang.

Berbarengan dengan akhir shalat Maghrib saya, tampak dari luar, KRL Ekonomi AC sedang berhenti menurunkan penumpang. Ya, sudah. Saya putuskan untuk naik KRL Ekonomi AC saja. Mungkin di sana kondisinya masih agak manusiawi. Bergegas saya menuju ke loket. “Jam 7, Mas”, jawab petugas loket ketika saya tanya mengenai jadwal KRL Ekonomi AC berikutnya. Saya lirik arloji saya, ternyata sudah jam 6.40. Sempurna! Sebentar lagi dia datang. Tetapi setelah saya membeli tiket dan berdiri menunggu di peron, saya teringat sesuatu. Ini Indonesia, Bung. Anda jangan berharap ketepatan jadwal kereta hingga level menit.

Saya pun melemas ketika mendengar announcer stasiun mengabarkan bahwa kereta yang saya tunggu masih di Manggarai.Ya, sudahlah...

Setelah beberapa saat menunggu, datang satu rangkaian KRL Ekonomi. Sebenarnya, saya masih ragu-ragu apakah saya akan naik KRL ini atau menunggu Ekonomi AC yang masih terpisah beberapa puluh menit lamanya. Demi melihat banyaknya penumpang yang keluar, refleks saya langsung bekerja. Saya langsung mendorong tubuh saya masuk ke dalam. Alhamdulillah, saya berada di dalam.

Tapi...

Waktu kecil dulu, saya sering melihat film-film berlatar perang kemerdekaan, baik masa pra- maupun pascaproklamasi. Salah satu yang saya ingat berjudul “Kereta Terakhir” (CMIIW) yang menggambarkan pergeseran para prajurit TNI di medan pertempuran dengan menggunakan kereta api. Dan saya mengalami de ja vu ketika melihat kondisi di dalam gerbong KRL. Suasana pengap, gelap, dan berjejalan dengan sesama penumpang membuat saya teringat dengan suasana kereta zaman perang kemerdekaan yang saya tonton bertahun-tahun yang lalu.

Pengalaman beberapa menit bergelantungan di pintu KRL membuat saya memahami betapa berbahayanya berperan menjadi pintu di KRL Ekonomi, apalagi di jam-jam sibuk seperti sekarang ini. Bisa dibayangkan betapa berat gaya dorong dari dalam gerbong sebagai akumulasi puluhan manusia yang terpuntir tiap kali kereta berjalan di tikungan. Apalagi dalam kondisi gerimis dimana semua yang tersentuh air memiliki koefisien gesek mendekati nol, yang dalam bahasa normal berarti tambah licin. Tidak ada tombol “Pause” disini.

Di tengah riuh rendah dan sedu sedan manusia yang terhimpit sempurna di dalam gerbong, sayup-sayup terdengar tangisan bocah. Batin saya teriris membayangkan bagaimana repotnya sang orang tua menenangkan buah hatinya. Dalam kondisi serbatidak mengenakkan, tidak ada pilihan bagi penumpang kereta kelas kambing ini. Bahkan saya pikir kambing mungkin akan mendapat perlakuan lebih baik jika mereka diantar bepergian, minimal keselamatan mereka masih dipikirkan oleh induk semangnya.

Dalam kondisi berjejalan, saya bahkan tidak bisa memonitor ada dimana tangan saya, tubuh saya disenggol siapa. Dan tas saya? Wallahu a’lam. Lupakan tentang pelecehan seksual. Karena dalam kondisi kerapatan massa yang sangat padat, Anda bahkan tidak akan bisa memaksakan ke arah mana tangan akan Anda arahkan, koordinat mana yang harus dihindari, siapa-siapa saja yang boleh disentuh atau dihindari. Saya sungguh bersimpati kepada kaum hawa yang -dalam kondisi sedemikian- harus rela aurat dan kehormatannya diacak-acak oleh keadaan.

Sesampainya di Stasiun Depok Lama, saya masih saja termenung mengingat-ingat pelajaran yang saya dapat hari ini. Di stasiun ini, saya mendapati banyak pelajaran kehidupan yang luar biasa. Tentang bagaimana anak manusia bergulat dengan kehidupan di bibir jurang kematian. Sebuah potret dan ilustrasi yang sering saya temui ketika media bersuara mengenai KRL Jabodetabek. Namun gambar dan kata yang biasanya saya acuhkan telah berubah menjadi goresan yang sangat membekas ketika saya mengalaminya sendiri.

Titik air mata saya hampir saja tumpah ketika menuangkan pengalaman tersebut dalam tulisan ini. Sekali lagi saya sungguh merasa beruntung bisa merasakan kemewahan kereta ekspres –dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Lupakan saja pembahasan tentang seli (sepeda lipat) dan kuli (kursi lipat) di kereta ekspres.

Since it don’t cost you your very life...

No comments: