Wednesday, February 17, 2010

Belajar Mengikat Makna: Catatan Harian 16 Feb 10

Tidak ada yang spesial dari catatan saya kali ini. Hanya sebuah proses belajar untuk meng-upgrade dan meningkatkan potensi diri. By the way, saat ini saya sedang menikmati sebuah buku berjudul "Mengikat Makna Update", buah tangan Pak Hernowo. Menurut informasi dari buku tersebut, Pak Hernowo ini mencatatkan rekor 24 buku dalam 4 tahun. Dengan sedikit ilmu penerawangan a la Statistika, rata-rata 1 buku Beliau tulis dalam 2 bulan. Wow!! Oleh karenanya, dengan semangat untuk menjadi Kendy versi 2.0, saya coba tuangkan apa saja yang terlintas di otak kiri, kanan, depan, belakang, atas dan bawah saya dalam bentuk tulisan. Semoga bisa istiqamah!!

...

Setelah energi positif terkuras habis selama beberapa, akhirnya saya bisa menemukan kembali ritme hidup normal saya. Well, akhirnya saya memperoleh lagi kemewahan waktu untuk kembali mencorat-coret lembaran-lembaran digital dengan segala celotehan saya.
Pagi ini saya kembali menjalani peran sebagai biker. Sebuah proses adaptasi yang –menurut saya- berat, terutama jika dibandingkan dengan kenikmatan menjalani kehidupan sebagai seorang roker. Apalagi jika mengingat bahwa peran ini akan saya jalani dalam kurun waktu yang belum berbatas. Saya tidak lagi memiliki waktu untuk menggali informasi dunia lewat hidangan koran pagi, mengamati berbagai macam tingkah polah anak manusia dan mengambil banyak hikmah darinya, atau bahkan sekadar melamun melihat pemandangan luar selama perjalanan kereta. Semua itu telah menjadi sebuah kemewahan bagi saya saat ini.

Sekarang, pandangan saya harus awas mengamati keadaan di depan. Fokus mata harus sering diubah untuk meng-update data keadaan sekitar saya, informasi dari kamera kiri dan kanan saya (baca: spion) harus terus dipantau dan dievaluasi. Parahnya, spion kiri saya malah menghadap ke badan saya, yang tak urung merangsang syaraf-syaraf narsis untuk sesekali memandang ke arah tubuh aduhai yang terpampang di sana.

What a distraction...

Kondisi hujan semakin memperberat kerja indera penglihatan saya, apalagi dengan kondisi saya yang berkacamata. Setiap tetes hujan yang datang menghampiri lensa kacamata akan menambah cembungan-cembungan yang mengacaukan perhitungan kornea saya. Seandainya ada Profesor Lang Ling Lung, si penemu yang bisa ditunggu, saya akan pesan sepasang wiper untuk kacamata saya. Sembari berharap semoga harganya juga di-cover oleh asuransi kantor saya...

Tangan saya juga tidak luput dari jatah kerja keras. Alhamdulillah, motor saya termasuk turunan dari teknologi motor tercanggih yang menghilangkan salah satu fungsi yang belum saya pahami hingga detik ini: kopling. Praktis hanya tangan kanan saya yang memegang kendali penuh atas rem dan putaran gas. Sebuah kombinasi kontrol yang mengayunkan hidup saya dari kiri ke kanan, dari gerakan dinamis ke kondisi diam yang statis.

Namun, tidak semuanya berjalan mulus dan indah.

Kondisi jalan dan pengendara motor di Jakarta (dan sekitarnya) -yang bisa membuat Valentino Rossi dan Dani Pedrosa minder- memaksa saya untuk terus siaga dan waspada. Dua kata dari Bang Napi adalah kata kuncinya, “waspadalah.. waspadalah..”. Alhasil, jadilah saya layaknya seorang drummer. Telinga mendengarkan ritme dan melodi klakson, tangan saya bergerak dinamis mengalunkan stir motor ke arah yang benar. Dan kaki saya...

Oiya, kaki saya malah tegang sempurna setiap saat...

Tidak juga sih. Minimal, mereka harus siap setiap saat otak saya memberi perintah untuk mengubah irama kendaraan saya. Layaknya pasukan PMK yang harus siap ketika panggilan darurat datang setiap saat.

Seringkali, saya merasa trainsick. Jika homesick adalah perasaan rindu pada rumah dan kampung halaman, maka trainsick ini adalah sindrom rindu pada KRL. Dalam diam, saya terpekur memandangi KRL Eko Kambing yang melenggang syahdu di jalurnya. Berdesir rasa iri di hati untuk ikut larut dalam rombongan kereta yang bergegas meninggalkan saya dengan langkahnya yang tegas dan pasti. Dentingan klakson membuyarkan lamunan saya menandakan bahwa kemacetan di depan saya telah terurai.

Untuk sekadar mengobati kerinduan, saya mencoba untuk tetap aktif di milis. Sesekali ikut meramaikan ruang diskusi maya di internet. Mencoba meraih kembali perasaan sebagai seorang penumpang KRL. Bahasa kerennya “get the feeling of being a trainer (penumpang kereta)”.

Yah, meskipun wajah KRL penuh dengan carut marut dan keruwetan operasionalnya. Saya sungguh rindu dengannya lengkap dengan keterlambatan jadwal perjalanannya, kerusakan sinyalnya, bahkan suara palang pintu perlintasannya.

No comments: