Tuesday, August 10, 2010

Catatan Harian 10 Agustus 2010 (tentang Redenominasi, Bagian 1)

Redenominasi mata uang rupiah menjadi topik obrolan yang hangat akhir-akhir ini. Mulai dari obrolan santai hingga serius, mulai dari guyonan ringan pengendur urat syaraf hingga diskusi berat yang mengerutkan kening.


Dalam bahasa sederhana, redenominasi adalah pengurangan angka mata uang yang tertulis dalam lembaran alat pembayaran maupun data transaksi finansial lainnya. Kali ini, redenominasi akan menghapus tiga angka nol paling belakang dari peredaran. Pecahan seribu menjadi serupiah, sepuluh ribu menjadi sepuluh rupiah, dan seterusnya ke atas. Sementara nasib pecahan ratusan ke bawah masih ghaib dari pengetahuan saya.

Dalam benak saya, sudah terbayang begitu besar perubahan yang harus dirasakan dan dijalankan oleh masyarakat. Ada begitu banyak sistem yang harus dikonversi agar beradaptasi dengan keadaan. Ada jutaan data yang harus direvisi, milyaran man-hours yang harus dialokasikan, dan -tentu saja- mata uang yang harus dianggarkan untuk membiayai semua proses transformasi ini.


Baiklah. Mari kita singkirkan sejenak prasangka buruk dari seorang saya yang awam ini...


Dengan sedikit googling, saya menemukan bahwa ide redenominasi mata uang rupiah berasal dari Kepala Biro Riset Ekonomi BI, Iskandar Simorangkir. [1] Meskipun masih berupa wacana, namun gaungnya sudah meluas hingga menembus gendang telinga saya yang notabene jarang mengikuti perkembangan berita. Dengan berbekal mesin pencari di situs Republika, maka saya mendapatkan pro-kontra dari para pakar ekonomi di negeri ini. Lumrah. Sebuah kebijakan pasti akan memancing polemik, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak.


Dari berbagai macam pendapat dan informasi, paling tidak bisa saya buat ikhtisar sebagai berikut.


Pertama, redenominasi tidak sama dengan sanering. Redenominasi hanya mengurangi penulisan angka pada mata uang namun tidak diikuti oleh penurunan nilai mata uang. Dia hanyalah sebatas perubahan kesepakatan di kalangan masyarakat. Jika sebelumnya, naik angkot D07 dari Terminal Depok ke Mutiara Darussalam seharga Rp. 2.000,-. Maka pascaredenominasi, supir angkot hanya menerima lembaran Rp. 2,- saja. Dan tentu, harga bensin premium menjadi Rp. 4.5,- dan sepiring pecel Madiun dibandrol Rp. 7,-. Sesederhana itu.


Namun pada sanering tidaklah sedemikian. Sanering memangkas penulisan mata uang beserta nilai yang dibawanya sekaligus. Jika pada ilustrasi sebelumnya, sopir angkot D07 hanya meraup Rp. 2,- saja dari setiap penumpang. Sedangkan untuk mengisi tandon bahan bakar kendaraannya, maka dia harus nanar menatap bandrol premium yang masih dalam kisaran ribuan. Dengan alasan keekonomian, mungkin tarif angkot harus dinaikkan. Namun di sisi lain, ada pegawai swasta macam saya penghuni Mutiara Darussalam yang meradang karena gajinya telah dipotong oleh pemerintah. Ujung-ujungnya bisa ditebak: CHAOS!!


Dengan logika sederhana seperti ini, bisa ditebak kapankah redenominasi bisa diterapkan, dan kapan harus ada sanering.  


Referensi


[1] http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/ekonomi/10/05/04/114303-redenominasi-rupiah-masih-tahap-wacana. Diakses pada tanggal 10-Agustus-2010 pukul 16:09.

No comments: