Monday, August 09, 2010

Catatan 4 Agustus 2010 (Bagian 1)

Fiqih -sebagai bentuk respon Islam terhadap perkembangan zaman- ternyata sudah mulai berkembang sejak zaman Khulafa’ur Rasyidin. Perkembangannya semakin pesat seiring dengan semakin luasnya wilayah kekhalifahan Islam, baik pada masa Khulafa’ur Rasyidin, Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyah; yang menimbulkan ekses kepada masyarakat, berupa interaksi dengan berbagai macam budaya, adat istiadat, bahasa dan ilmu pengetahuan baru. Sedangkan di sisi lain, agama Islam telah mengajarkan kepada pemeluknya untuk senantiasa berhati-hati dalam menjalani hidupnya. Agar senantiasa berjalan dalam koridor dan tidak melampaui batas yang telah digariskan oleh Tuhan Alam Semesta.


Pagi ini, sambil mengunyah dan menggilas menu sarapan pagi, saya buka-buka kembali salah satu buku yang belum sempat saya selesaikan, yaitu buku mengenai Biografi Empat Imam Madzhab. Selama lima belas menit yang menyenangkan itu, saya hanya sanggup menyusuri gambaran singkat dari kondisi masyarakat yang melahirkan penghulu imam madzhab, Imam Abu Hanifah Nu`man bin Tsabit rahimahullah. Namun dari waktu yang singkat itu, saya mendapatkan sebuah gambaran menarik mengenai evolusi salah satu elemen dari hukum syariah tersebut.

Fiqih masih belum lagi ada ketika Rasulullah Shalallahu `Alaihi Wasallam masih hidup. Hal ini karena kabar dari langit masih belum terputus, dan kedudukan Beliau Shalallahu `Alaihi Wasallam dalam Islam adalah otoritas mutlak dimana setiap taklimat Beliau mendapat perlakuan khas dari kaum Mukminin: sami`na wa atha`na. Namun, kondisi menjadi pelik ketika Malaikat Izrail menjemput Nabi Akhir Zaman tersebut. Tidak ada lagi otoritas mutlak yang ma`shum yang mengadili setiap permasalahan dan memberikan arahan dalam setiap keadaan.


Persentuhan peradaban Islam dengan peradaban asing yang dibuka oleh penaklukan-penaklukan wilayah baru menimbulkan gegar budaya dan agama. Ada hal-hal baru, adat istiadat dan gaya hidup yang sama sekali asing dengan segala sesuatu dimana Islam diturunkan dan diajarkan. Ada perkembangan teknologi yang tidak sempat terekam oleh teks-teks keagamaan, baik yang berasal dari Tuhan Semesta Alam maupun dari lisan suci Nabi Pamungkas. Hal ini yang ditambah dengan pindahnya pusat kekhalifahan dan mercusuar peradaban ke Baghdad semakin menambah jarak antara teks dengan konteks.


Maka disinilah kejeniusan para `ulama dalam menghadapi roda zaman. Berbagai macam instrumen nalar diciptakan untuk menarik hukum (istinbath) agar tetap searah dan sejalan dengan teks-teks Ketuhanan. Dalam pemahaman saya, inilah fitrah sebuah agama dimana pemeluknya telah diajari oleh Tuhan dan Utusan-Nya untuk senantiasa kembali kepada dua suluh yang terpercaya.


“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (an-Nisa` [4] : 59)


"Telah kutinggalkan untukmu dua perkara (pusaka), tidak sekali-kali kamu tersesat selamanya, selama kamu masih berpegang teguh kepada keduanya yaitu al-Qur'an dan Sunnahku". (HR. Al-Hakim dari Abu Hurairah)



No comments: