Monday, December 28, 2009

Is Man-Made Global Warming a Hoax? (Bagian 1)


“So it is said that if you know your enemies and know yourself, you can win a hundred battles without a single losses” – Sun Tzu

Hari-hari ini, isu lingkungan adalah isu yang paling hangat, seksi dan paling mendominasi dalam setiap forum pembicaraan, mulai dari forum gosip Ibu-Ibu rumah tangga hingga mailing list Bapak-Bapak pekerja kantoran, mulai dari obrolan ringan para tukang ojek hingga diskusi serius para pemimpin negara-negara sedunia. Maka dalam rangka memeriahkan hajatan Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen, saya membuat tulisan tentang global warming secara berseri.

Saya tidak tahu persis sejak kapan isu pemanasan global menjadi sebuah histeria dunia dimana hampir tidak ada sudut kehidupan yang tidak terjamah olehnya. Perlahan namun pasti tema gas rumah kaca dan emisi karbon telah berkembang dari sebuah isu ilmiah menjadi komoditas bisnis dan politik. Dalam kancah politik antarnegara, isu-isu emisi gas rumah kaca telah masuk dalam daftar senjata diplomatik untuk menekan atau menepis serangan pihak luar.

Sebagai awalan dari tulisan berseri ini, marilah sejenak kita belajar lebih dulu mengenai hal-hal yang terkait dengan isu perubahan iklim.



Intergovernmental Panel on Climate Change

Didirikan pada tahun 1988, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah sebuah badan ilmiah lintas negara bentukan World Meteorological Organization (WMO) dan United Nations Environment Programme (UNEP) yang bertugas mengevaluasi risiko pemanasan global yang diakibatkan oleh aktivitas manusia (anthropogenic global warming / AGW). Tugas utama badan ini adalah mempublikasikan laporan-laporan khusus dari topik-topik yang terkait dengan implementasi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) [1]. UNFCCC sendiri adalah sebuah perjanjian tidak mengikat yang bertujuan untuk menurunkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi pada satu titik yang sanggup mencegah bahaya AGW [2]. Dalam tugasnya, IPCC tidak melakukan kegiatan riset ilmiah maupun aktivitas pemantauan iklim atau fenomena alam terkait lainnya secara mandiri. Tugas IPCC lebih cenderung pada penelitian semua informasi yang ada mengenai tema perubahan iklim dimana informasi tersebut sebagian besar diperoleh dari literatur ilmiah yang telah di-peer review dan dipublikasikan secara luas.

Sampai tulisan ini dibuat, IPCC telah mempublikasikan 4 buah assessment report yang terdiri atas 3 bagian, yaitu Working Group I, II, dan III. Keempat assessment report tersebut adalah assessment report pertama, yang dijadikan sebagai dasar bagi UNFCCC, dipublikasikan pada tahun 1990. Assessment report kedua dipublikasikan pada tahun 1995, assessment report ketiga pada tahun 2001, dan assessment report keempat pada tahun 2007.

Protokol Kyoto

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan sebuah konvensi yang dihasilkan oleh KTT Bumi yang diadakan di Rei de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Konvensi ini menentukan tingkat ambang batas emisi gas rumah kaca bagi tiap-tiap negara, namun sifatnya tidak mengikat dan tidak memiliki mekanisme pemberian sanksi apapun. Oleh karenanya pada tahun 1997, UNFCCC kemudian diperbarui menjadi sebuah protokol yang secara hukum bersifat mengikat serta memberikan mekanisme terperinci terkait dengan pembatasan emisi gas rumah kaca, dikenal dengan nama Protokol Kyoto.

Berdasarkan protokol ini, negara-negara yang tergabung dalam Annex I [3] berkomitmen untuk mengurangi emisi dari 4 gas rumah kaca (greenhouse gases / GHG), yaitu karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, dan sulfur heksaflorida; serta 2 kelompok gas, yaitu hidrofluorokarbon dan perfluorokarbon. Selain itu, negara-negara Annex I sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca kolektif mereka hingga 5.2% dihitung dari tingkat emisi tahun 1990.

Protokol Kyoto juga melahirkan sejumlah mekanisme yang fleksibel bagi pencapaian target pengurangan emisi, di antaranya adalah sistem perdagangan emisi, clean development mechanism (CDM), dan implementasi bersama. Mekanisme-mekanisme tersebut memungkinkan negara-negara Annex I untuk memenuhi target mereka dengan cara memperoleh poin pengurangan emisi GHG melalui bantuan finansial atau mengadakan proyek-proyek pengurangan emisi, baik di negara-negara non-Annex I maupun Annex I; atau mendapatkannya dari negara-negara Annex I yang pengurangan emisinya telah melampaui target [4].

Perdagangan Emisi

Sebagai bagian dari mekanisme pengurangan emisi GHG, protokol Kyoto menyediakan sistem-sistem untuk membantu negara-negara Annex I memenuhi target pengurangan emisinya. Salah satu di antaranya adalah melalui perdagangan emisi.

Masing-masing negara yang memberikan komitmennya melalui Protokol Kyoto memperoleh jatah ambang batas emisi (cap) yang boleh dihasilkan. Negara-negara yang memiliki kelebihan jatah emisi ini boleh menjualnya (trade) kepada negara-negara yang menghasilkan emisi melebihi target yang telah ditentukan. Dari sini muncullah istilah “cap-and-trade”. Karena secara saintifik karbondioksida dianggap sebagai elemen utama gas rumah kaca, orang lebih cenderung untuk menyebutnya sebagai perdagangan karbon. Oleh karenanya, Protokol Kyoto juga dianggap sebagai pencipta sebuah pasar baru: Pasar Karbon.

Selain karbon, skema perdagangan emisi ini juga mengenal beberapa satuan kredit yang bisa diperjualbelikan, yaitu:
-    Removal Unit (RMU), yang dihitung berdasarkan aktivitas penggunaan lahan, pengubahan fungsi lahan dan perhutanan. Misalnya: reboisasi.
-    Emission Reduction Unit (ERU).
-    Certified Emission Reduction (CER), dihasilkan oleh aktivitas pembangunan yang ramah lingkungan.

Proses transfer dan akuisisi komoditas ini dicatat dan direkam melalui sebuah sistem registrasi (registry system) di bawah Protokol Kyoto. Sedangkan untuk menjamin keamanan dari transfer unit pengurang emisi antarnegara, skema ini menggunakan sebuah pencatatan transaksi internasional (international transaction log).


Penutup

Isu pemanasan global -tentu saja- berawal dari berbagai macam penemuan dan penelitian oleh para ilmuwan mengenai kondisi dan gejala alam semesta. Berawal dari sana, kemudian PBB -sebagai badan dunia- kemudian merintis upaya-upaya untuk menghindarkan dunia dari perkiraan bencana ekologis di masa depan. Salah satunya dengan inisiatif IPCC dan UNFCCC.

Sebuah langkah mulia yang –oleh para politisi- kemudian dijadikan sebagai ajang perang diplomasi dan politik. Jika dihitung dari awal dibentuknya UNFCCC pada tahun 1992, dan diikuti oleh KTT Perubahan Iklim (Conference of the Parties / COP) yang diadakan hampir setiap tahunnya; seharusnya kita sudah mendapatkan sebuah hasil kesepakatan dunia yang secara legal formal bersifat mengikat, dan bersegera memulai langkah-langkah nyata untuk “mengurangi tingkat emisi karbon”.

Namun, jauh panggang daripada api. Kepentingan domestik masing-masing negara serta adanya agenda tersembunyi dari banyak pihak menjadi batu sandungan yang sangat besar. Alih-alih mengedepankan perasaan sebagai warga dari planet yang sama, para politisi menjadikan COP sebagai ajang untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya bagi masing-masing pihak dan unjuk ego negara-negara besar.

Berita terakhir yang saya dapat, COP ke-15 di Kopenhagen ini terancam deadlock karena belum adanya kesepakatan dari masing-masing pihak, baik negara-negara maju maupun negara-negara berkembang. Bahkan situasi memanas setelah delegasi AS secara sepihak dan tiba-tiba meminta perubahan atas naskah konvensi yang sedang dalam proses negosiasi. Apalagi PM Denmark kemudian mengatakan akan mengeluarkan naskah versi mereka ke tengah-tengah arena COP.[5]

Namun, sungguh ironis jika semua hingar-bingar dan beban finansial yang sudah dikeluarkan terkait tema ini, ternyata didasari oleh temuan ilmiah yang belum teruji secara komprehensif. Ada banyak teori, fakta dan temuan data yang tidak mendukung adanya AGW.

Seperti apakah kisahnya? Lanjut ke seri berikutnya.

Catatan Kaki

[1] Intergovernmental Panel on Climate Change, http://en.wikipedia.org/wiki/Intergovernmental_Panel_on_Climate_Change, diakses pada tanggal 15 Desember 2009 pukul 06:35 GMT.
[2] United Nations Framework Convention on Climate Change, http://en.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Framework_Convention_on_Climate_Change, diakses pada tanggal 15 Desember 2009 pukul 07:39 GMT.
[3] Australia, Austria, Belarusia, Belgia, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Eslandia, Irlandia, Italia, Jepang, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Monako, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Polandia, Portugal, Rumania, Federasi Rusia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Swiss, Turki, Ukrania, Inggris, dan Amerika Serikat.
[4] Kyoto Protocol, http://en.wikipedia.org/wiki/Kyoto_Protocol, diakses pada tanggal 16 Desember 2009 pukul 09:34 GMT.
[5] Harian “The Times of India”, tanggal 17 Desember 2009.


No comments: