Tuesday, December 29, 2009

Belajar Mengikat Makna: Catatan Harian 30 Des 09 Tengah Hari


Kemarin, saya menelan begitu banyak informasi. Saya menduga karena beberapa hari yang lalu sempat terisolasi dari hiruk pikuk kehidupan manusia Indonesia karena kantor mengharuskan saya tidur dan menginap di Mumbai selama 8 hari (plus 5 hari off di rumah). Praktis saya tidak membaca koran atau menonton berita di TV (maklum, sampai saat ini saya masih belum punya TV :p) selama hampir 2 minggu.


Editorial Media Indonesia (MI) hari Selasa (29/12) mengupas tentang gegap gempitanya sambutan masyarakat atas buku karya George Junus Aditjondro berjudul “Membongkar Gurita Cikeas, di Balik Skandal Bank Century”. Dengan tidak mengupas banyak mengenai buku tersebut, editorial MI lebih menyorot kepada kehebohan masyarakat atas munculnya karya kontroversial tersebut. Dalam euforia kehidupan demokrasi yang sedang kita ‘nikmati’ -dimana fairness dan sportivitas sangat dijunjung tinggi, mengapa masih ada saja indikasi terjadinya upaya penegasian sebuah wacana melalui tindakan di luar koridor logis, etis, dan hukum. Singkat kata: wacana harus dibalas dengan wacana, buku dijawab dengan buku pula. Dan tentu saja akan lebih cantik jika ada proses dialog yang membungkusnya.

Memang melelahkan dan berat di ongkos namun inilah cara yang elegan.

Oke, lanjut...

Di harian yang sama, saya tertarik dengan kedua artikel yang dimuat di kolom Opini.

Artikel pertama berjudul “Biodisel di Indonesia Prospektif” yang ditulis oleh Bernd Waltermann dan Henning Streubel dari Boston Consulting Group. Diawali dengan sebuah kenyataan bahwa bahan bakar fosil yang tidak terbarukan suatu saat pasti akan habis, sedangkan di sisi yang lain sudah ada alternatif sumber energi ramah lingkungan berupa biodisel. Indonesia sebagai produsen CPO (Crude Palm Oil) terbesar di dunia seharusnya bisa memanfaatkan kondisi ini. Ditambah dengan momentum COP ke-15 Copenhagen yang telah merumuskan target penurunan emisi karbon dunia, yang secara tidak langsung telah membuka pasar potensial bagi biodisel itu sendiri.

Perfect place, perfect timing, but not the perfect person. Not yet, at least.

Tentu saja para pelaku industri perkebunan di Indonesia masih harus berbenah untuk bisa menguasai pangsa pasar baru yang menggiurkan ini. Adanya goodwill dari pemerintah sebagai insentif bagi industri kelapa sawit diharapkan mampu menjaga, bahkan meningkatkan tingkat produksi CPO. Namun ini juga harus dibarengi dengan upgrade teknologi pengolahan CPO agar bisa lolos dari persyaratan yang dikenakan oleh negara-negara importir.

Tata kelola perkebunan kelapa sawit juga disoroti oleh artikel ini. Pembukaan lahan pertanian dan perkebunan melalui deforestasi yang masif mendudukkan Indonesia di posisi ketiga emitor CO2 terbesar di dunia, setelah Amerika dan Cina.

Meskipun dalam artikel ini masih ada hal-hal yang kontroversial, namun saya pribadi berpendapat bahwa memang harus ada tata kelola yang lebih baik bagi industri CPO di Indonesia. Pertama, adalah mengenai produktivitas lahan kelapa sawit Indonesia yang relatif masih lebih rendah dari Malaysia. Kedua, mengenai aturan pembukaan lahan perkebunan yang masih belum diakui kesahihannya oleh masyarakat dunia. Lepas dari kontroversi ilmiah seputar tema perubahan iklim, keberadaan pasar karbon adalah sebuah keniscayaan yang harus diantisipasi. Dan tata kelola lahan adalah salah satu poin yang mungkin akan menentukan apakah kita akan untung atau buntung di industri hijau tersebut.

Artikel kedua adalah “Merenungkan Iklim Masa Depan” tulisan Bapak Halmar Halide dari Universitas Hasanudin (Unhas). Sedikit intermezzo, tulisan dari Pak Halmar inilah yang memberikan petunjuk kepada saya bahwa ternyata ada the other side of the story dari tema pemanasan global. Dalam artikelnya kali ini, Pak Halmar mengawalinya dengan hasil dari COP ke-15 Kopenhagen yang berupa kesepakatan tidak mengikat untuk mengurangi emisi agar peningkatan suhu tidak melebihi 2°C pada tahun 2050, serta kucuran dana miliaran US dollar sebagai biaya mitigasi dan antisipasi efek pemanasan global.

Namun ironisnya, landasan ilmiah bagi semua kesepakatan dan kucuran finansial tersebut masih terus berada di ajang perdebatan para ilmuwan. Karbondioksida, yang oleh IPCC ditetapkan sebagai agen utama pemanasan global, ternyata merupakan berkah bagi tumbuhan dan plankton di lautan sebagai bahan utama fotosintesis. Tidak itu saja, CO2 juga merupakan selimut hangat yang menjaga suhu rata-rata bumi berkisar pada angka 15°C. Menariknya, efek rumah kaca yang ditimbulkan oleh ikatan karbon ini hanya terjadi pada suhu rendah alias tidak sinkron terjadi di semua belahan dunia dan kisaran suhu. Bahkan menurut salah satu hasil observasi, suhu bumi ternyata mengalami penurunan sejak tahun 2001 dimana tingkat penurunannya sebesar -1,2°C per seratus tahun.

Saya sangat menggarisbawahi satu kata kunci dari paragraf terakhir artikel tersebut: kerendahan hati. Pengetahuan manusia, terutama mengenai iklim bumi, sangatlah terbatas. Diperlukan kerendahan hati dan pikiran yang terbuka untuk menerima penemuan, metodologi, dan observasi yang baru; serta mengadu berbagai pendapat dalam sebuah forum yang terbuka dan fair. Namun, jika ilmu pengetahuan sudah menjadi agama, maka tangan besi a la inkuisisi-lah yang akan bekerja memotong dan mengintersepsi semua wacana yang berseberangan dengan arus utama. Dan sayangnya, inilah yang terjadi dalam sebuah tema besar perubahan iklim.

Oke, itulah yang saya dapat kemarin.

Hari ini.......... Mmmm, mungkin akan saya tulis besok. Hehe, back to work.

Salam,
Kendy.


No comments: