Wednesday, January 06, 2010

Belajar Mengikat Makna: Catatan Harian 06 Jan 10

Tidak ada yang spesial dari catatan saya kali ini. Hanya sebuah proses belajar untuk meng-upgrade dan meningkatkan potensi diri. By the way, saat ini saya sedang menikmati sebuah buku berjudul "Mengikat Makna Update", buah tangan Pak Hernowo. Menurut informasi dari buku tersebut, Pak Hernowo ini mencatatkan rekor 24 buku dalam 4 tahun. Dengan sedikit ilmu penerawangan a la Statistika, rata-rata 1 buku Beliau tulis dalam 2 bulan. Wow!! Oleh karenanya, dengan semangat untuk menjadi Kendy versi 2.0, saya coba tuangkan apa saja yang terlintas di otak kiri, kanan, depan, belakang, atas dan bawah saya dalam bentuk tulisan. Semoga bisa istiqamah!!

Pagi ini, saya berangkat seperti biasa. Naik kereta Depok Ekspres dengan jadwal penerbangan keberangkatan pukul 07.46. Dan seperti biasa, kereta terlambat. Kalau kata Iwan Fals, “Dua jam itu biasa”.


Ketika sudah menempatkan diri di gerbong paling depan sambil menikmati hidangan berita a la Media Indonesia, sekelompok pengamen muda tampak menunjukkan kepiawaian mereka menghibur para penumpang. Jujur saya akui, beberapa kelompok pengamen di KRL memiliki kelebihan performa dibandingkan rata-rata pengamen angkot atau bus kota. Sekali waktu saya bahkan pernah memberi IDR 5.000 sebagai bentuk apresiasi saya atas penampilan mereka. Jangan ditanya tentang keikhlasan saya. Waktu itu, kadarnya diatas rata-rata lho. Hehe... :p


Tapi fokus saya pagi ini bukan di situ.


Kereta saya sudah siap akan berangkat di tengah-tengah penampilan para pengamen tersebut. Bahkan pintu samping kereta sudah mulai ditutup oleh masinis kereta. Dengan terburu-buru, beberapa kru pengamen langsung keluar gerbong, satu orang menahan pintu di dekat posisi saya berdiri, sedangkan satu orang –vokalisnya, seorang perempuan- masih berkeliling untuk mengumpulkan uang saweran dari para penumpang.


Kereta sudah mulai berjalan, dan sang gadis masih belum menyelesaikan tugasnya. Temannya yang lain sudah mulai berteriak-teriak menyuruhnya untuk segera melompat turun. Beberapa penumpang sudah mulai panik melihat adegan ini mengingat akselerasi KRL sangat cepat. Bisa dibayangkan, dari keadaan diam, KRL bisa melaju dengan cepat hanya dalam beberapa detik saja. Dan benar saja, sang gadis jatuh terjengkang ketika kakinya mendarat di platform stasiun.


Saya tidak tahu apakah si gadis terluka atau ‘hanya shock’ saja, namun dalam hati saya bersyukur. Gerbong pertama hanya berjarak beberapa meter saja dari batas platform stasiun. Terlambat sedikit saja, gadis tersebut bukan hanya jatuh dari kecepatan yang lebih tinggi, namun juga plus ketinggian lebih dari 1 meter dari atas permukaan tanah.


Demi uang yang –mungkin- dalam ukuran saya tidak seberapa, mereka harus bertaruh nyawa seperti ini. Dibandingkan dengan saya yang kondisi kerjanya lebih aman dan nyaman, kehidupan mereka tentu saja jauh lebih keras. “What a hard life you have, guys. And if I don’t thank God for what I currently have, I’m just another ungrateful bastard”, gumam saya dalam hati.


Tentu saja dalam bahasa Indonesia... :)
 
KRL terus melaju ke perhentian (atau pemberhentian ya?) berikutnya: Pondok Cina. Sedikit intermezzo, saya selalu merasa risih ketika pembaca berita Metro TV selalu melafalkan kata Cina ini dengan “Caina”. Saya tidak tahu apakah ada aturan baru pelafalan yang semacam itu, atau mereka hanya sok ng-Inggris saja. Yang pasti menurut saya, ini cara pelafalan yang paling buruk. Jika mereka ingin meninggalkan stigma negatif kata “Cina”, saya pikir cara Jawa Pos lebih elegan: ganti dengan Tiongkok.

Oke, kembali ke kisah saya. Sampailah kami di Pondok Cina. Dan seperti hari-hari biasa, ada banyak penumpang yang naik dari Stasiun Pondok Cina. Di antaranya, dua orang wanita –salah satunya setengah baya- dan seorang anak perempuan kira-kira berusia 2 sampai 3 tahun. Duh, saya jadi ingat Farras -anak saya. Berhubung sayapun dalam kondisi berdiri, tidak ada tempat duduk yang bisa saya tawarkan. Dan yang membuat saya jengkel, sangat sangat jengkel, adalah dua orang laki-laki yang duduk tepat di depan mereka –dua wanita dan anak perempuan- berdiri langsung pura-pura tidur. Salah satunya malah tidur terus sampai saya turun di Stasiun Sudirman (Dukuh Atas).


Alhamdulillah ada seorang wanita yang berbaik hati memberikan tempat duduknya. Sambil menggelengkan kepala, wanita tersebut memandangi kelakuan dua orang laki-laki yang egois ini. Mungkin wanita ini juga berpikiran sama dengan saya. Hanya banci yang berkelakuan semacam ini.


Ketika wanita setengah baya itu dan gadis kecilnya duduk, salah satu dari dua laki-laki egois ini membuka matanya. Dengan tanpa rasa malu atau bersalah, dia meneruskan kegiatannya dengan BlackBerry di tangannya. Sebenarnya, kalau diperhatikan lebih seksama, laki-laki ini bukan seseorang yang tidak berpendidikan. BlackBerry dan tas laptop (dan yang pasti isinya laptop, bukan upil) adalah bukti bahwa dia ini melek teknologi. Jadi, pendidikan dan teknologi tinggi ternyata tidak serta merta membuat seseorang menjadi lebih beradab. Ini memang hipotesis prematur dari saya, namun saya akan sangat senang jika ada yang membuktikan bahwa anggapan saya ini salah.


Ya sudahlah. Saya juga masih terlalu pengecut untuk memperjuangkan hak-hak dua wanita tersebut, meskipun himbauan untuk memprioritaskan tempat duduk bagi wanita hamil, wanita yang membawa anak kecil serta orang tua jelas tertempel di dinding KRL. Paling tidak, dengan tulisan ini, saya ingin menyampaikan kepada dunia apa yang saya pikirkan dan rasakan.

Oke... Lanjut.



Siangnya, saya –yang sejak beberapa hari yang lalu bertekad bulat untuk ikut mencicipi akses internet 3G- bergegas menuju Galeri Indosat di Sarinah. Setelah menunggu sekitar 15 menit dengan nomor antrian 141 (penting gak sih?), disambut dengan hangat oleh Mbak CS di Meja nomer 1. Yuhuuuu.... Akhirnya..... Setelah berusaha setengah hidup menyusun kata-kata untuk mengutarakan maksud hati dan niat baik saya kepada si Mbak, ternyata jawaban Beliau sangat menggelisahkan.


“Maaf, Pak. Pendaftaran untuk akses internet broadband sudah ditutup sejak 31 Desember”


Aduh.. Saya pikir saya sudah akan membuang sia-sia IDR 7.000 (ongkos BusWay Bendungan Hilir – Sarinah PP) dari kekayaan saya.


“Tapi Bapak masih bisa berlangganan akses internet di IM2 di lantai dua”


Ahaaa... Masih ada secercah cahaya di ujung lorong. Saya segera menuju sekuriti untuk meminta nomor antrian untuk IM2. Saya diberi nomor 336. Wah, nomor cantik nih (nomor cantik dari Hongkong?). Hanya butuh waktu beberapa saat sebelum Mas CS di meja nomor 10 available. Singkat kata, saya berniat untuk berlangganan Paket Eco Unlimited dengan bandrol IDR 176.000 per bulan (sudah termasuk pajak lho, jadi saya termasuk warganegara yang baik kan...).


Ketika saya sedang mengisi formulir pendaftaran, Mas-nya bertanya, “Modemnya beli dimana Pak?”


Waktu itu, saya juga langsung menunjukkan modem ZTE MF626 yang baru saya beli. Bukan untuk pamer ke Mas-nya sih, saya ingin sekalian dibantu untuk setting modem dan kartu GSM-nya.


“Saya beli di JakartaNotebook, Mas”, jawab saya sambil terus mengisi formulir.


“Saya aja yang kerja disini belum punya modem, Pak”, kata sang Mas CS.


“Ah, masak sih. Mas-nya jualan bandwidth kok gak punya modem”, jawab saya tidak percaya.


Jelas saya tidak percaya. Parfum Mas-nya saja masih semerbak mewangi, padahal sudah tengah hari. Dibandingkan dengan parfum kelas kambing yang biasa saya beli di Indomaret atau Alfamart, yang 5 menit setelah disemprot wanginya sudah hilang; jelas kelas parfum Mas CS jauh di atas saya. Haha :D


Setelah beberapa saat mengisi formulir pendaftaran, saya sampai di kolom isian “Kode Pos” sesuai KTP. Saat ini berdasarkan KTP, saya tercatat sebagai warga Jalan Bangka 2 RT 001 RW 011. Dan setelah 3 tahun tinggal di sana, saya masih saja tidak tahu berapa nomor kode pos Kecamatan Mampang Prapatan. Waduh...!!


“Kode posnya harus diisi, Pak”, jawab Mas CS ketika saya beritahukan bahwa saya tidak tahu nomor kode pos alamat KTP.


Tapi Mas CS memberi petunjuk yang menyelamatkan saya (untuk sementara waktu): kode pos Jakarta biasanya 12000-an. Ya sudah, saya isi saja 12000. Dan... deal! Tapi masalah muncul lagi ketika saya harus mengisikan kode pos domisili saya di Depok.


Alamaaaak....


Saya mencoba nego dengan sang CS (biasanya sistem birokrasi Indon bisa dinego... :p), tapi Mas-nya ini memang tabligh, amanah dan fathonah. Saya telpon istri, Beliau juga tidak tahu. Malah saya disuruh tanya ke Pak Arman, staf marketing dari perumahan kami di Depok. Wah, jauh amat ya untuk tanya kode pos Kecamatan Pancoran Mas, Depok. Ya sudah, saya pasrah saja. Sepertinya saya harus menunda keinginan saya barang sehari dua hari untuk cari informasi...... kode pos!


Alhamdulillah, Tuhan masih mengijinkan saya untuk mencicipi akses 3G hari itu. Mas CS menawarkan paket Broom (sapu?) Unlimited dengan kartu IM2 prabayar.


Akhir cerita, saya sampai kembali di kantor dengan hati ceria, berbunga-bunga. Setelah IDR 275.000 dikurangkan dari properti saya, saya akhirnya masuk dalam jajaran pria metroseksual yang melek internet dengan akses data broadband. Haha.. :D


No more HTTP tunelling untuk akses Facebook dan eksis di sosialita metropolitan. Selamat datang dunia maya tanpa batas!! Horeeee....


Sekian.


Masih ada lagi kok.... :p


Sorenya, saya berniat untuk membaca sesuatu selama perjalanan pulang. Ah ya, saya masih belum selesai baca bukunya Pak Hernowo tentang Mengikat Makna. Dengan niat suci dan luhur untuk jadi seorang penulis, saya rangkai kembali hasil pembacaan saya atas buku “Mengikat Makna Update” ini sebelum melanjutkan bacaan saya.


Pak Hernowo memaknai proses “Mengikat Makna” sebagai sebuah sinergi yang saling membutuhkan antara kegiatan membaca dan menulis. Tiada menulis tanpa membaca, dan tiada membaca tanpa menulis. Tiada Kendy tanpa upil, dan tiada upil tanpa Kendy. Sebuah hubungan yang harmonis, selaras dan serasi. Saling membutuhkan, saling menguatkan, saling mengokohkan yang menghasilkan dan meledakkan kemampuan serta potensi seseorang.


Nah, untuk dapat melakukan proses “Mengikat Makna”, Pak Hernowo mensyaratkan rekayasa sebuah “Ruang Privat” dimana proses “Mengikat Makna” ini akan dijalankan. Pertama sekali, seseorang harus selfish. Tentu saja Pak Hernowo harus meyakinkan saya -dan semua pembaca bukunya- untuk merekonstruksi makna selfish ini.


Menurut Pak Hernowo, kata selfish harus dimaknai sebagai “perasaan yang mengutamakan diri sendiri” saja tanpa frasa “dengan mengorbankan orang lain” yang biasa mengikutinya. Dan dengan sebuah catatan yang tegas: ini hanya dipakai di “Ruang Privat” yang sedang kita bangun.


Sebagai seorang programmer, saya sepakat sekali dengan proses rekonstruksi makna. Bagi saya, sebuah kata atau istilah hanyalah sebuah variabel kosong yang perlu didefinisikan dulu apa isinya sebelum memulai sebuah sesi dialog atau diskusi. Bagi saya, kata apapun bisa dimaknai apa saja. Saya yang tidak suka durian akan memaknai buah ini sebagai buah yang tidak enak. Walaupun sebagian penduduk bumi pasti akan berkata sebaliknya.


OK then it’s a deal!


Berikutnya, Pak Hernowo memperkenalkan kata AMBAK (Apa Manfaatnya BAgiKu). Kata AMBAK ini memaksa kita untuk selalu mencari motivasi dari setiap aktivitas yang akan kita geluti. Apa manfaatnya membaca bagiku? Apa manfaatnya menulis bagiku? Apa manfaatnya Facebook bagiku? Apa manfaatnya ngupil bagiku? Seseorang harus mencari motivasi untuk menggerakkan dirinya melakukan sebuah aktivitas. Dan tentu saja tujuan akhirnya bisa ditebak: untuk mengatasi seseorang dari kejenuhan dan kebosanan.


Motivasi ada dua macam: negatif dan positif. Meskipun dua motivasi ini bisa dipakai untuk beraktivitas, menurut Pak Hernowo, hanya motivasi positif sajalah yang mengantarkan seseorang menjadi manusia yang utuh. Dan di antara semua motivasi positif, Pak Hernowo memilih kebermaknaan diri sebagai motivasi tertinggi.


Saya adalah seorang yang menyukai cerita-cerita fiksi a la manga (komik Jepang). Meskipun kisahnya tidak nyata, namun apa yang tergambar merupakan hasil perenungan para pengarangnya. Salah satu tema yang menarik perhatian saya adalah mengenai pertanyaan: apakah tujuan saya hidup di dunia? Jika seseorang tidak memiliki tujuan yang jelas sebagai destinasi hidupnya di dunia, tentu saja dia akan merasa bahwa keberadaannya di dunia hanyalah sia-sia belaka. “Meaningless”, kata orang bule berambut pirang bermata biru. Dan muaranya –kemungkinan besar- hanya satu: bunuh diri. Oleh karenanya, saya merasa bahwa pilihan Pak Hernowo ini cukup logis.


Ketika kita merangkai ketiga kata kunci ini: selfish, AMBAK, dan makna diri; maka kita akan mendapatkan kesamaan tujuan dari kredo ini. Yaitu untuk diri sendiri. Ya, dari awal Pak Hernowo sudah menyebutkan kalimat kunci dari tesisnya ini: Menulis untuk Diri Sendiri. Semua aktivitas “Mengikat Makna” ini memang muaranya untuk diri sendiri, meskipun pada kenyataannya, sangat banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh orang lain.


Nah, sebagai bahan contekan, Beliau menjelaskan bahwa dari proses “Mengikat Makna” ini Pak Hernowo mendapati kegiatan membaca sebagai sebuah input dan menulis sebagai sebuah output. Tidak ada output tanpa input. Dan saya mengibaratkan proses “input tanpa output” sebagai seseorang yang terus makan dan minum tanpa buang air. Nikmat? Jangan tanya saya..... :)


Oke, itulah sekilat rangkuman dari dua bab pertama buku “Mengikat Makna Update”. Semoga bermanfaat.


Salam,
Kendy.

No comments: