Wednesday, July 21, 2010

Catatan Harian 21 Juli 2010 (Bagian 1)

Ketika membaca status salah satu “friend” di halaman Facebook saya beberapa hari yang lalu, saya terkejut mengetahui bahwa –ternyata- ada polemik mengenai status kehalalan kopi luwak. Waduh, kemana saja saya selama ini? Akhirnya, setelah beberapa saat dijejali dengan rutinitas pekerjaan dan ehm..ehm... sifat pelupa saya; baru hari ini saya mencoba menggali sedikit informasi mengenai berita yang satu ini.


Bermula dari pertanyaan dari pihak PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) yang berencana memproduksi kopi luwak [1], MUI kemudian melakukan serangkaian penyelidikan dan pembahasan mengenai segala hal yang terkait dengan kopi, yang konon termahal di dunia, ini.


Bahan baku kopi luwak adalah buah kopi yang sudah matang sempurna atau masak di pohon. Kemudian buah kopi tersebut disuguhkan kepada luwak (Paradoxurus hermaphroditus) untuk dimakan. Kemampuan luar biasa yang dimiliki oleh luwak inilah yang membuatnya hanya memilih dan memakan buah-buah kopi yang terbaik. Setelah melalui proses pencernaan di perut luwak, biji-biji kopi yang masih keras dan tidak ikut tercerna keluar bersama tinja (kotoran) luwak. Dan selanjutnya, biji kopi akan melalui serangkaian proses normal sebagaimana kopi-kopi yang lain.


Pertanyaan mengenai status kopi luwak muncul mengingat biji kopi yang menjadi bahan baku kopi luwak telah mengalami proses pencernaan dan fermentasi di dalam perut luwak dan kemudian keluar bersama tinja luwak. Apakah biji kopi yang keluar bersama tinja luwak termasuk barang najis? Apakah biji kopi tersebut termasuk bagian dari tinja luwak? Apakah tinja luwak termasuk barang najis?


Tanpa saya ketahui, ternyata pengkajian mengenai hal ini sudah dilakukan oleh para ilmuwan Islam beratus-ratus tahun yang lalu. Bahkan dasar-dasar hukumnyapun sudah ada dalam kumpulan hadits shahih Imam Bukhari dan Muslim.


Pertama, mengenai status tinja luwak.


Dari dua sumber hukum Islam, kita mendapati hadits shahih sebagai berikut.


"Dahulu sebelum dibangun masjid nabawi, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendirikan sholat di kandang kambing." (Muttafaqun 'alaih).


"Beberapa orang dari kabilah 'Ukel dan Urainah singgah di kota Madinah, tidak berapa lama perut mereka menjadi  kembung dan bengkak karena tak tahan dengan cuaca Madinah. Menyaksikan tamunya mengalami hal itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mendatangi onta-onta milik Nabi yang digembalakan di luar kota Madinah, lalu minum dari air kencing dan susu onta-onta tersebut." (Muttafaqun 'alaih).


Dari sini, ditarik sebuah kesimpulan bahwa kotoran hewan yang halal dimakan, baik berupa air seni maupun tinja, adalah suci. Tidak najis. [2] Sedangkan mengenai luwak sendiri, dia tidak termasuk dalam kriteria binatang yang haram dimakan. [3] Oleh karenanya, luwak dikembalikan kepada hukum asal bahwa segala sesuatu adalah halal.


Sebetulnya, dari sini saja sudah jelas bahwa status tinja luwak adalah halal. Apalagi biji kopi yang menyertainya. Namun, jika kita ingin menggali lebih jauh lagi, ada baiknya kita menyimak bahasan dari Dr. K.H. Ahmad Munif Suratmaputra, M.A., anggota Komisi Fatwa MUI Pusat.


Dalam buku-buku fikih, disebutkan bahwa biji-bijian yang keluar bersama kotoran atau muntah hewan itu dihukumi mutanajjis, dengan catatan biji-bijian itu keras, masih utuh, tidak berubah, yang indikasinya apabila biji-bijian itu ditanam, bisa tumbuh. Biji-bijian tersebut bisa menjadi suci karena dicuci dan halal dimakan. Namun, apabila biji-bijian itu telah berubah, dihukumi najis.
Dalam kitab Fath al-Mu’in dengan syarah I’anah ath-Thalinin juz I, disebutkan bahwa apabila ada hewan memuntahkan biji-bijian atau keluar dari perutnya bersama fesesnya, lalu biji-bijian itu keras, masih utuh sehingga kalau ditanam bisa tumbuh; biji-bijian itu pun statusnya mutanajjis, tidak najis. Biji-bijian itu menjadi suci dengan cara dicuci dan halal dimakan.
Hal yang sama disebutkan dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab juz II karya Imam Nawawi pada bab najis. Dengan demikian, apabila kopi luwak yang keluar dari perut luwak bersama kotorannya tersebut masih dalam kondisi utuh dan dipastikan tidak ada kotoran luwak yang merembes ke biji kopi tersebut; kopi luwak itu hanya mutanajjis (terkena /bersentuhan najis) sehingga bisa menjadi suci dengan cara dicuci dengan air mutlak. Hal ini akan membuat hilang ketiga macam sifatnya (warna, rasa, dan bau najis/feses luwak). [4]
Demikianlah. Ternyata polemik mengenai kopi luwak berakhir dengan happy ending bagi para penikmat kopi. 


Refensi



[1] http://news.okezone.com/read/2010/07/20/337/354702/337/mui-ptpn-yang-minta-ada-fatwa-soal-kopi-luwak
[2] http://thetrueideas.multiply.com/journal/item/2287
[3] http://triatmono.wordpress.com/2009/03/06/yooo-ngaaaji-binatang-yang-haram-dimakan/
[4] http://bantenpost.com/view-op.php?page=BU/BNTP/06/10/0037KK/BNTP/006

No comments: