Wednesday, July 07, 2010

Catatan Harian 08 Juli 2010

Pagi ini saya membaca tulisan Pak Djoko Suud Sukahar di Detiknews. [1] Dalam tulisannya, Beliau memberikan respon terhadap anjuran Aburizal Bakrie (Ical) agar para kader Golkar meniru cara tikus dalam berpolitik. "Kita politisi bekerja keras, main taktis. Jangan kemudian kita dalam permainan itu menggigit terus. Golkar harus berprinsip seperti tikus, ngendus, baru gigit". [2] Begitu kata Ical dalam sambutannya di acara Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) Partai Golkar.

Dalam konteks strategi berjuang, saya pikir anjuran Ical ini, secara teknis, masuk akal. Sekali lagi saya katakan “secara teknis” karena masalah “untuk tujuan apa strategi tersebut digunakan” sudah berada di luar semesta pembicaraan. Bahkan sebagai manusia yang berpikir, adalah wajar jika kita mencari hikmah, ibrah, dan pembelajaran dari apapun yang terjadi di sekeliling kita.


Namun bukan itu tema yang saya angkat kali ini. Saya ingin kembali ke Kolom Djoko Suud tersebut. Dalam sebelas paragraf tulisannya, pemerhati budaya tersebut lebih mengulas mengenai simbolisasi tikus. Alih-alih mengafirmasi atau mempertegas stigma negatif masyarakat mengenai tikus, Beliau mencoba menawarkan perspektif baru mengenai hewan pengerat itu: bahwa tidak selamanya tikus dianggap jelek.


Berbagai warta dikisahkan mulai dari cindil (anak tikus) yang “sering dilahap di desa” sebagai obat kuat hingga miras cap tikus favorit nyong Manado. Pak Djoko Suud (mungkin) bukan orang teknis atau seorang ilmuwan. Beliau adalah seorang pengamat budaya, setidaknya itulah yang tertulis di situs Detiknews. Jadi, berharap data empiris sebagai basis pemilihan kata “sering” di atas adalah mustahil. Saya juga yakin Beliau tidak bisa menyebutkan berapa desa dari ratusan ribu desa di Indonesia yang memilih cindil sebagai obat kuat. Apalagi plus tambahan kata “sering”.


Saya tidak tahu apakah Pak Djoko Suud menaruh perhatian pada nilai-nilai agama, namun penggunaan miras sebagai nilai positif adalah hal yang mengkhawatirkan. Meskipun menenggak miras adalah hal yang menyenangkan bagi sebagian orang, namun ditinjau dari segi kesehatanpun, miras adalah barang laknat. Apalagi jika kita menambahkan variabel “miras oplosan” yang telah menuai sukses mengantar orang-orang menuju akhir hidup dengan kesia-siaan.


Sebagai individu, Pak Djoko Suud berhak untuk beropini dan berwacana. Pun saya juga demikian. Oleh karenanya, saya berhak untuk berpendapat bahwa dalam tulisannya ini, Pak Djoko Suud sangat memaksakan diri.


Referensi


[1] http://us.detiknews.com/read/2010/07/07/092838/1394503/103/ical-dan-politisi-tikus, diakses pada tanggal 08-Juli-2010 pukul 09:58 WIB.
[2] http://www.jakartapress.com/www.php/news/id/14503/Ical-Golkar-Harus-Seperti-Tikus.jp, diakses pada tanggal 08-Juli-2010 pukul 09:44 WIB.

No comments: