Wednesday, April 14, 2010

Catatan Harian 12 Apr 2010

Praktis sudah sebulan ini, saya berhenti dari kegiatan corat-coret yang mulai saya sukai. Menuangkan semua ide yang ada di kepala ke dalam bentuk tulisan. Mencari bahan pustaka dan menelusuri berbagai sumber rujukan dan referensi. Mencoba mengunyah segala permasalahan dan mencoba memahami nalar serta jalan pikiran orang lain.

Entah mengapa selama sebulan ini, semangat yang dulu sempat saya rasakan seakan menguap dan memudar entah kemana. Yang pasti, memang ada beberapa keadaan yang bisa dijadikan tersangka, yang membuat otak dan jari tangan mogok dalam waktu yang bersamaan.


Pertama. Sejak sebulan yang lalu, kantor pusat menugaskan saya untuk menjaga warung di bilangan Simatupang, dimana posisi warung yang baru ini memaksa saya untuk berubah mode: dari seorang trainer (penumpang kereta) menjadi seonggok biker (pengendara motor jalanan). Walhasil, tidak ada waktu tambahan bagi saya selama perjalanan berkendara untuk sekadar membaca majalah, buku, atau koran sebagai suplier ide dan wacana. Atau sekadar melamun menatap pemandangan di luar untuk mencari inspirasi.

Ada sebuah perkataan bijak yang sangat menarik, “jika seseorang tidak memiliki, bagaimana mungkin dia bisa memberi”. Dan inilah kondisi saya saat ini. Minim aktivitas membaca membuat saya termasuk kaum fakir ide. Dan ujung-ujungnya, hal inilah yang membuat saya tidak bisa lagi berbagi wacana dan tulisan.

Obatnya hanya satu: mulai membaca lagi!!

Kedua. Penurunan semangat yang dibiarkan berkepanjangan.

Dalam pelajaran fisika, kita disuguhkan oleh sebuah fenomena alam bernama kelembaman. Yaitu usaha sebuah benda untuk mempertahakan kondisi semula ketika terjadi perubahan gerak. Inilah yang menyebabkan kita terlonjak ke depan ketika mengerem kendaraan, dan membetot kita ke belakang ketika pedal gas diinjak penuh ke bawah. 

Dalam perspektif psikologi manusia, saya percaya bahwa pada sebagian dari kita terdapat fenomena kelembaman ini. Yaitu kecenderungan untuk tetap mempertahankan kondisi semula walaupun situasi dan keadaan telah –atau harus-berubah. Sebagian menyebutnya “pro status quo”, ada juga yang menyebutnya “comfort zone”.

Dan di sinilah posisi saya sekarang –dan dulu pernah- berada. Kondisi “vakum dari kegiatan baca-tulis” yang berusaha mati-matian saya perangi, sekarang malah saya nikmati. Dan parahnya, saya enggan untuk beranjak dari sana. Parah pangkat duanya, saya sudah mulai terbiasa dengan prestasi nihil tulisan.

Pak Hernowo –penulis buku “Mengikat Makna Update- juga sempat menyentil hal ini. Beliau mengajukan sebuah resep –yang saat ini sedang saya coba-, yaitu dengan memaksa menulis apa saja. Bahkan jika kita tidak memiliki ide atau sesuatu untuk dituliskan, maka kondisi itu sendiri sudah layak untuk dijadikan bahan tulisan. Mengapa merasa buntu ketika akan menulis? Mengapa sampai kehabisan ide? Dan sebagainya, dan sebagainya.

Yang pasti, saya sudah mulai menggerakkan roda itu lagi. Butuh energi yang besar, memang; namun hal ini sudah wajib ‘ain hukumnya untuk segera dilakukan. Ada sebuah adagium yang sempat singgah sekelebat di kepala saya, “iman itu kadang naik kadang turun”. Dalam konteks kegiatan baca-tulis ini, semangat untuk baca-tulis kadang naik dan kadang pula turun. Apalagi bagi saya dimana kata “istiqamah” adalah sebuah barang yang mahal harganya.

Meski jauh-jauh hari saya sudah menyadari bahwa saya mungkin saja akan tercebur lagi ke lembah hina –seperti sekarang ini- namun paling tidak saya sudah memiliki ajian pamungkas yang bisa saya rapalkan ketika kondisi buruk itu datang menerpa. Yah, paling tidak, jangan sampai zero productivity lah.

Ganbatte, dear me!

No comments: